Kamis, 09 Juli 2009

KH.MAKSUM JAUHARI (GUS MAKSUM SANG PENDEKAR)

Nama Gus Maksum memang selalu identik dengan dunia persilatan, tentu kita tidak asing lagi dengan Nama “PAGAR NUSA” yaitu ikatan pencak silat Nahdlatul ulama yang dididirikan pada tanggal 3 januari 1986 di pondok pesantren Lirboyo oleh para kyai-kyia NU dan sekaligus mengukuhkan Gus Ma’sum sebagai ketuanya.

KH.MA’SUM JAUHARI

Gus Maksum lahir di Kanigoro, Kras, Kediri, pada tanggal 8 Agustus 1944, salah seorang cucu pendiri Pondok Pesantren Lirboyo KH Manaf Abdul Karim. Semasa kecil ia belajar kepada orang tuanya KH Abdullah Jauhari di Kanigoro. Ia menempuh pendidikan di SD Kanigoro (1957) lalu melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Lirboyo, namun tidak sampai tamat. Selebihnya, ia lebih senang mengembara ke berbagai daerah untuk berguru ilmu silat, tenaga dalam, pengobatan dan kejadukan .

KH.MA’SUM JAUHARI (GUS MA’SUM SANG PENDEKAR)

Sebagai seorang kiai, Gus Maksum berprilaku nyeleneh menurut adat kebiasaan orang pesantren. Penampilannya nyentrik. Dia berambut gondrong, jengot dan kumis lebat, kain sarungnya hampir mendekati lutut, selalu memakai bakiak. Lalu, seperti kebiasaan orang-orang “jadug” di pesantren, Gus Maksum tidak pernah makan nasi alias ngerowot. Uniknya lagi, dia suka memelihara binatang yang tidak umum. Hingga masa tuanya Gus Maksum memelihara beberapa jenis binatang seperti berbagai jenis ular dan unggas, buaya, kera, orangutan dan sejenisnya.

Dikalangan masyarakat umum, Gus Maksum dikenal sakti mandaraguna. Rambutnya tak mempan dipotong (konon hanya ibundanya yang bisa mencukur rambut Gus Maksum), mulutnya bisa menyemburkan api, punya kekuatan tenaga dalam luar biasa dan mampu mengangkat beban seberat apapun, mampu menaklukkan jin, kebal senjata tajam, tak mempan disantet, dan seterusnya. Di setiap medan laga (dalam dunia persilatan juga dikenal istilah sabung) tak ada yang mungkin berani berhadapan dengan Gus Maksum, dan kehadirannya membuat para pendekar aliran hitam gelagapan. Kharisma Gus Maksum cukup untuk membangkitkan semangat pengembangan ilmu kanuragan di pesantren melalui Pagar Nusa.

Sebagai jenderal utama “pagar NU dan pagar bangsa” Gus Maksum selalu sejalur dengan garis politik Nahdlatul Ulama, namun dia tak pernah terlibat politik praktis, tak kenal dualisme atau dwifungsi. Saat kondisi politik memaksa warga NU berkonfrontasi dengan PKI Gus Maksum menjadi komandan penumpasan PKI beserta antek-anteknya di wilayah Jawa Timur, terutama karesidenan Kediri. Ketika NU bergabung ke dalam PPP maupun ketika PBNU mendeklarasikan PKB, Gus Maksum selalu menjadi jurkam nasional yang menggetarkan podium. Namun dirinya tidak pernah mau menduduki jabatan legislatif ataupun eksekutif. Pendekar ya pendekar! Gus Maksum wafat di Kanigoro pada 21 Januari 2003 lalu dan dimakamkan di pemakaman keluarga Pesantren Lirboyo dengan meninggalkan semangat dan keberanian yang luar biasa.

KH.ABDUL HAMID BIN ABDULLOH BA’ALAWI (PASURUAN)

Ketika saya masih ta’lim di Darul Hadist, saya pernah diajak oleh Muallim Dimyati untuk menghadiri peringatan maulid di Pasuruan, namun saya tidak tahu persis dimana tempatnya. Saya bersama kawan-kawan santri dan guru saya datang atas undangan dari keluarga besar KH.Abdul hamid, begitu sampai disana terlihat ribuan jamaah yang datang untuk mengahadiri peringatan maulid tersebut. Dalam hati kecil ini saya bertanya siapakah KH.Abdul hamid tersebut ? mengapa begitu banyak jamaah yang datang ? dan ternyata beliau adalah seorang ulama dan waliyulloh yang sangat di hormati di Pasuruan. Beliau lahir di Lasem Rembang propinsi Jawa tengah nama lengkapnya adalah Abdul Hamid bin abdulloh bin Umar basyaiban ba’alawi

KH.ABDUL HAMID

d an masih ada nasab dari Rosululloh SAW, beliau lahir di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah tahun 1333 H Sejak kecil beliau di didik langsung oleh ayahnya hingga usia 15 tahun dan di masukan ke pondok pesantren Tremas pacitan.Beliau kembali kepasuruan dan berguru dengan Habib ja’far bin syaikhon Assegaf, disinilah beliau mulai dan mungkin mengasah diri dengan pancaran ruhhul ilahiyah yang begitu cemerlang. di Pasuruan ini pula beliau semakin mendekatkan diri pada kalangan ulama dan habaib kususnya dengan Habib Ja’far assegaf yang merupakan guru utama beliau. bersama habib ja`far inilah potensi spiritual beliau semakin terasa, hal ini diakui oleh habib ja`far bahwa dibanding murid yang lain, kyai hamid memiliki keunggulan tersendiri yang sangat sulit dicapai oleh orang lain. kekaguman dan kepercayaan habib ja`far diwujudkan dengan dipercayakanya Kyai Hamid untuk menjadi imam sholat Maghrib dan isya` di kediaman habib ja`far, meski demikian kyai hamid tetap tidak mengurangi takzim beliau kepada sang guru, begitu merendahnya kyai hamid dihadapan habib ja`far ibarat penda ditangan pemiliknya, Pena tidak akan bergerak jika tidak digerakan pemiliknya, demikian juga kyai hamid keberadaanya seakan hilang dan menyatu dengan habib ja`far. keunggulan kyai hamid di bidang keilmuan mungkin dapat diungguli oleh orang lain, namun dua hal menjadi kelebihan tesendiri bagi kyai hamid adalah sifat zuhud dan tawadhu yang jarang dimiliki oleh orang lain. bahkan ketika habib ja`far wafat ketika ziaroh ke makam habib ja`far kyai hamid sangking takzimnya dan tawadu nya tidak berani duduk lurus pada posisi kepala tapi selalu duduk pada posisi kaki habib ja`far. inilah sifat tawaddhu beliau yang sangat tinggi.

Karomah kewaliaan yang diberikan Alloh swt kepada beliau sudah tampak ketika beliau masih hidup suatu ketika ada seseorang meminta nomer togel kepada kyai hamid. oleh kyai hamid diberi dengan syarat jika dapat uangnya harus dibawa kehadapan kyai hamid. dan oleh orang tersebut dipasanglah nomer tersebut dan menang. uangnya dibawa kehadapan kyai hamid. oleh kyai uang tersebut dimasukan ke dalam bejana dan disuruh melihat apa isinya. dan terlihat isinya darah dan belatung. kyai hamid berkata “tegakah saudara memberi makan anak istri saudara dengan darah dan belatung?”. orang tersebut menangis dan pulang kemudian bertobat.
Krosak! Tiba-tiba suara daun terlanggar batu menyeruak keheningan. Sejurus kemudian terdengar lagi suara itu yang kedua dan ketiga kali. “Faisal, hari sudah malam. Waktunya tidur,” terdengar teguran halus dari arah belakang pelempar batu itu. Faisal (bukan nama sebenarnya), santri Salafiyah yang terkenal badung itu tidak menyahut. Ia yakin, itu suara anak santri lain yang ingin menggodanya, dengan meniru suara Kiai Hamid.

Faisal memungut batu lagi dan melempar pohon mangga di depan rumah pengasuh pesantrennya itu. “Faisal, hari sudah malam, waktunya tidur,” terdengar suara lembut lagi dari arah belakang anak yang suka melucu itu. Begitu lembut, selembut semilir angin tengah malam. “Sudahlah, kau tak usah usil. Aku tahu siapa kau,” sergah Faisal sambil melempar lagi. Lagi-lagi lemparannya luput. Ia semakin tidak sabaran melihat buah mangga yang ranum itu.

“Faisal, hari sudah malam. Ayo tidur, tidur.” Suara itu masih halus, tanpa emosi. “Kurang ajar,” umpat Faisal. Kesabarannya sudah habis. Ini keterlaluan, pikirnya. Dengan geram, ia menghampiri arah datangnya suara tersebut. Entah apa yang ingin dilakukannya terhadap orang yang dianggapnya meniru seperti Kiai Hamid itu. Ia tidak dapat segera mengenali, siapa santri yang berlagak seperti Kiai Hamid di depan rumah kiai yang sangat disegani itu. Maklum, semua lampu di teras rumah itu sudah dipadamkan sejak pukul 21.00. Mendadak mukanya pucat ketika jarak dengan orang tersebut tinggal 1-2 meter.

Tubuhnya bergetar demi mengetahui orang yang telah diumpatinya tadi benar benar Kiai Hamid. Faisal pun menunduk segan. “Sudah malam, ya. Sekarang waktunya tidur,” ujar Kiai, Hamid, masih tetap lembut, namun penuh wibawa. “Inggih (iya),” jawab Faisal pendek, sambil ngeloyor pergi ke kamarnya. Faisal bukan satu-satunya santri yang suka mencuri mangga milik kiai.

Cerita seperti itu sudah menjadi semacam model khas kenakalan santri di pesantren. Faisal juga bukan satu-satunya anak santri Salafiyah yang merasakan kesabaran Kiai Hamid. Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.

pada suatu saat orde baru ingin mengajak kyai hamid masuk partai pemerintah. kyai hamid menyambut ajakan itu dengan ramah dan menjamu tamunya dari kalangan birokrat itu. ketika surat persetujuan masuk partai pemerintah itu disodorkan bersama pulpenya, kyai hamid menerimanya dan menandatanganinya. anehnya polpennya tak bisa keluar tinta, diganti polpen lain tetap tak mau keluar tinta. ahirnya kyai hamid berkata “bukan saya lo yang gak mau, bolpointnya yang gak mau”. itulah kyai hamid dia menolak dengan cara yang halus dan tetap menghormati siapa saja yang bertamu kerumahnya.

Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum.

Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu.

Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya ‘Ulummuddin dan Bidayatul Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah.

Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu, beliau selalu berusaha melawan nafsu.

suatu kali kiai Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, kiai Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat,” ujarnya.

berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, kiai Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur (menyenangkan orang lain) seperti dianjurkan Nabi.

Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun.

Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran (yang dipahami secara sederhana) mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu’afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah.

setiap pergi ke manapun kyai hamid selalu didatangi oleh umat, yang berduyun duyun meminta doa padanya. bahkan ketika naik haji ke mekkah pun banyak orang tak dikenal dari berbagai bangsa yang datang dan berebut mencium tangannya. darimana orang tau tentangd erajat kyai hamid?mengapa orang selalu datang memuliakanya?konon inilah keistimewaan beliau, beliau derajatnya ditinggikan oleh Allah SWT.8 rabiul awal 1403.H, sehari sebelum beliau wafat, bertepatan dengan acara haul ayahanda beliau kyai abdulloh bin umar, beliau menyempatkan diri ke lasem dan datang ke rumah gede, tempat dimana beliau dilahirkan. tidak seperti biasanya beliau sholat 2 rakaat didekat tiang utama lalu memimpin masyarakat sekitar yang datang untuk bertahlil seperti mengantar jenazah ke kuburan. tanggal 9 rabiul awal 1403,H atau tanggal 25 december 1985. beliau berpulang ke rahmatulloh, umatpun menangis, gerak kehidupan di kota pasuruan seakan terhenti, bisu oleh luka yang dalam, puluhan bahkan ratusan ribu orang membanjiri pasuruan, memenuhi relung relung masjid agung al anwar dan alun alun serta memadati gang gang dan ruas jalan didepannya. beliau dimakamkan belakang masjid agung pasuruan.Maka tidak heran jika ribuan umat selalu menziarahinya setiap waktu mengenang jasa dan cinta beliau kepada umat, terutama jika ada peringatan maulid dan haul beliau. Dan itulah karomah kewaliaan beliau ketika sudah meninggal .

K.H. Sholeh Bahruddin Kalam

KH. Sholeh Bahruddin Kalam
Muqodimah
Dengan memanjatkan puji syukur yang sebenar-benarnya kepada Alloh Swt. atas
ni’mat karuniah-Nya kepada kita semua dan sanjungan kepada junjungan kita,
nabi Muhammad Saw. akan diuraikan profil singkat dari al-mukarrom Syaikhun
al-Kabir al-Kirom KH. M. Sholeh Bahruddin dan semoga bisa bermanfaat bagi
semua, amin.

Silsilah dan Keluarga KH. M. Sholeh Bahruddin
KH. M. Sholeh Bahruddin dilahirkan di desa Ngoro Kabupaten Mojokerto pada
hari Sabtu, 25 Sya’ban tahun 1372 H atau bertepatan pada tanggal 09 Mei
tahun 1953 M. Ayahnya bernama KH. Mohammad Bahruddin (almarhum) kelahiran
Juwet-Porong-Sidoarjo, 1346 H/1926 M dan ibunya bernama Siti Shofrotun
putri K. Imam Asy’ari Ngoro-Mojokerto. Beliau mempunyai 11 saudara, yaitu:
1. KH. M. Sholeh Bahruddin sendiri
2. Muhammad Anshori :
3. KH. M. Mansyur : Ngembe-Dlanggu-Mojokerto
4. Muhammad Ghufron (almarhum) : Sugeng-Trawas-Mojokerto
5. Siti Maryam : Carat-Gempol-Pasuruan
6. Muhammad Dhofir : Modopuro-Mojosari-Mojokerto
7. Muhammad Ridwan :
8. Ahmad Fatah :
9. Siti Habibah :
10. Muhammad Misbah : Carat-Gempol-Pasuruan
11. Siti Munifah :

Secara garis keturunan atau Silsilah Keluarga, KH. Sholeh Bahruddin masih
merupakan ketururanan Rasululloh Saw. yang ke 33. Adapun silsilah beliau
sebagaimana berikut:

1. KH. M. Sholeh Bahruddin
2. KH. M. bahruddin Kalam
3. Kyai Kalam Arfi
4. Nyai Salimah
5. Kyai Sulaiman
6. Kyai Hasan Besari
7. Kyai Ya’qub
8. Kyai Muhammad Besari
9. Kyai Anum Besari
10. Raden Ageng Abdul Rosyid
11. Raden Pangeran Santri
12. Raden Joko Tingkir
13. Pangeran Pandan Arum
14. Sayyid Maulana Ishaq
15. Sayyid Jamaluddin Husain
16. Sayyid Abdullah Khan
17. Sayyid Amar Abdullah
18. Sayyid Alwi
19. Sayyid Muhammad
20. Sayyid Alwi
21. Sayyid Muhammad
22. Sayyid Alwi
23. Sayyid Abdullah
24. Sayyid Ahmad Muhajir
25. Sayyid Hasan al-Bishri
26. Sayyid Tsaqib ar-Rumi
27. Sayyid Ali Uraidh
28. Sayyid Ja’far as-Shodiq
29. Sayyid Muhammad Baqir
30. Sayyid Zainul Abidin
31. Sayyidina Husain Ra.
32. Sayyidatina Fatimah az-Zahro Ra.
33. Sayyidina Muhammad Saw.

Sejak kecil KH. M. Sholeh Bahruddin belajar di rumah diajar langsung oleh ayahnya sendiri dan guru-guru lainnya. Selanjutnya ketika menginjak dewasa beliau disuruh ayahnya untuk menuntut ilmu kepada Kyai Syamsuddin Ngoro-Mojokerto, yang merupakan paman dari KH. M. Sholeh Bahruddin sendiri. Setelah dirasa cukup beliau berguru pada beberapa kyai, diantaranya sebagai berikut:
1. Kyai Qusairi : Mojosari-Mojokerto-Jawa Timur
2. Kyai Bahri : Sawahan-Mojosari-Mojokerto-Jawa Timur
3. Kyai Jamal : Batho’an-Mojo-Kediri-Jawa Timur
4. Kyai Musta’in : Peterongan-Jombang-Jawa Timur
5. Kyai Iskandar : Kandangan-Ngoro-Jombang-Jawa Timur
6. Kyai Muslih : Mranggen-Semarang-Jawa Tengah
7. Kyai Munawir : Tegal Arum-Kertosono-Nganjuk-Jawa Timur
Selesai mendalami pendidikan agama di pelbagai Pondok Pesantren, pada usia 22 tahun, tepatnya pada tahun 1975, beliau menikah dengan Nyai Hj. Siti Sa’adah dari Krandon-Kerjo-Karangan-Trenggalek, yang mana kalau ditelusuri dari garis keturunan antara keduanya, menjadi satu saudara ada garis keturunan Nyai Salimah. Hingga sekarang dari hasil perkawinan, beliau dikaruniahi 10 anak, diantaranya sebagai berikut:
1. Siti Muthoharoh
2. Atik Hidayatin
3. Ahmad Syaikhu
4. Siti Faiqoh
5. Luluk Nadhiro
6. Ahmad Faishol (alm.)
7. Siti Khurotin
8. M. Bustomi (alm.)
9. Siti Hajar
10. Siti Nuronia

Kiprah KH. M. Sholeh Bahruddin
a. Wilayah Lokal
Dalam wilayah lokal, selain menjadi pengasuh Pondok Pesantren Ngalah sendiri kiprah KH. M. Sholeh Bahruddin boleh dibilang sangat intens. Hal ini dibuktikan dengan diadakannya beberapa kegiatan keagamaan, antara lain:
1. Pengajian Malam Senin.
Pengajian yang lebih familiar disebut dengan seninan ini diikuti + 2000 jama’ah, baik dari kalangan muda maupun tua, baik yang berprofesi sebagai buruh tani atau pabrik sampai pengusaha.
2. Pengajian Hari Selasa.
Pengajian ini diikuti oleh + 200 Jama’ah. Pengajian ini lebih dulu ada dari pengajian Malam Senin, namun yang membedakannya hanya terletak pada kesempatan dari jama’ah itu sendiri. Dalam artian pengajian malam senin diadakan untuk memberi kesempatan pada masyarakat yang pada hari Selasa siangnya bekerja.
3. Pengajian Malam Kamis.
Pengajian ini diikuti + 300 Jama’ah yang dalam prosesnya KH. M. Sholeh Bahruddin mengajak para jama’ah untuk sholat malam berjama’ah.
4. Dzikrul Ghofilin.
Kegiatan yang diadakan 1 bulan sekali ini diikuti + 1500 jama’ah. Dalam pengajian ini KH. M. Sholeh Bahruddin mengajak para jama’ah untuk berdo’a bersama dengan membaca kalimat-kalimat thoyyibah yang terdapat dalam buku dzikrul ghofilin yang disusun oleh Gus Miek.
5. Sholat Malam Lailatul Qodar.
Kegiatan ini dilakukan 1 tahun sekali, tepatnya pada malam ganjil bulan ramadhan dan pegajian ini diikuti + 7000 jama’ah dari berbagai kalangan dan daerah baik dari Pasuruan dan luar Pasuruan.